Oleh Wawan Dinawan*
Tiga belas tahun di Mekah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (saw) hanya mengajarkan bagaimana mengesakan Allah subhanahu wa ta'ala (swt) dan menjauhi thaghut (sesembahan selain Allah).
Hal yang dilakukan Nabi adalah pemurnian kepada tauhid. Masyarakat Arab
pada saat itu sudah mengenal Allah swt sebagai tuhan mereka. Hanya saja
di saat yang sama mereka menjadikan orang-orang shalih yang telah wafat
diantara mereka untuk menjadi perantara antara diri mereka dan Allah
swt, seperti yang disebutkan di surat Az-Zumar ayat ketiga. Mereka
membuat patung Latta, Uzza, dan Manat; pendahulu-pendahulu mereka yang
shalih lainnya sebagai perantara dalam ibadah. Selain itu mereka juga
berada dalam kondisi jahiliyah dengan segala tingkah laku yang tidak
manusiawi.
Dalam kondisi masyarakat yang demikian, Nabi saw beruzlah (menyendiri)
menuju gua Hira. Di sanalah wahyu pertama diturunkan. Ketika perintah
untuk menyebarkan ajaran Islam itu hadir, maka yang pertama kali
didakwahkan adalah masalah konsep tauhid.
Al-Mubarokfurry menjelaskan ihwal turunnya wahyu kedua ini dengan bahasan, “Jadi hal-hal yang terangkum disini (Al-Muddatstsir:1-7) meliputi: 1) Tauhid, 2) Iman kepada Hari Akhirat, 3) membersihkan jiwa dengan cara mejauhi kemungkaran dan kekejian yang kadang-kadang mengakibatkan munculnya hal-hal yang kurang menyenangkan, mencari keutamaan, kesempurnaan, dan perbuatan-perbuatan yang baik, 4) menyerahkan semua urausan hanya kepada Allah, 5) Semua itu dilakukan setelah beriman kepada risalah Muhammad, bernaung dibawah kepemimpinan dan bimbingan beliau yang lurus.
Al-Mubarokfurry menjelaskan ihwal turunnya wahyu kedua ini dengan bahasan, “Jadi hal-hal yang terangkum disini (Al-Muddatstsir:1-7) meliputi: 1) Tauhid, 2) Iman kepada Hari Akhirat, 3) membersihkan jiwa dengan cara mejauhi kemungkaran dan kekejian yang kadang-kadang mengakibatkan munculnya hal-hal yang kurang menyenangkan, mencari keutamaan, kesempurnaan, dan perbuatan-perbuatan yang baik, 4) menyerahkan semua urausan hanya kepada Allah, 5) Semua itu dilakukan setelah beriman kepada risalah Muhammad, bernaung dibawah kepemimpinan dan bimbingan beliau yang lurus.
Telah tampak bahwa poin-poin yang disebutkan di atas adalah poin-poin
yang berhubungan dengan spiritualitas dan rohani, konsep ketuhanan,
iman, dan hati. Tidak ada satu pun poin-poin tentang bagaimana mengatur
urusan keuangan, kesejahteraan, dan politik. Fase mekah hanya
mendakwahkan purifikasi penyembahan dan tata cara beribadah.
Setelah melakukan ekspedisi-ekspedisi hijrah ke beberapa negara,
sampailah pada sebuah keputusan untuk menjadikan Yatsrib (Madinah)
menjadi wilayah yang akan menjadi basis Islam. Sebelumnya Mush'ab bin
Umair telah lebih dahulu menyerukan Islam di Yatsrib dan memberitahukan
akan adanya seorang nabi yang diutus kepada mereka. Maka, Yatsrib
menjadi wilayah yang tepat untuk menjadi basis.
Setelah sampai di Yatsrib, Nabi yang dahulu hanya membahas masalah iman
dan tauhid, mengambil kebijakan-kebijakan kemasyarakatan dan kenegaraan.
Kebijakan pertama adalah membangun masjid Nabawi sebagai basis
kenegaraan. Masjid digunakan untuk shalat, tempat pengajaran, untuk
menyelesaikan masalah, gedung parlemen dan tempat mengatur pemerintahan.
Kebijakan berikutnya adalah mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan
Anshar. Sebelumnya Anshar telah bersatu setelah sekian lama terjadi
konflik antara Aus dan Khazraj. Dari mempersaudarakan sesama muslim,
Nabi saw membuat butir-butir perjanjian Islam. Butir-butir perjanjian
ini sangat menarik untuk disimak karena tidak membahas sedikitpun
masalah aqidah—karena aqidah dianggap sudah jelas tertanam. Enam belas
poin perjanjian itu membahas masalah kehidupan bermasyarakat. pada tahap
ini Nabi saw telah menjadi pemimpin Islam bukan lagi sebagai pemimpin
spiritual layaknya pada tarekat-tarekat sufi, melainkan berubah menjadi
pemimpin masyarakat Islam dalam semua tatanan kehidupan berbangsa dan
negara.
Tidak cukup dengan itu, Nabi saw merambah sebuah gagasan besar yakni
membangun hubungan kenegaraan dengan Yahudi. Hubungan perjanjian ini
kita kenal dengan Piagam Madinah (Shahifatul Madinah). Piagam madinah
juga tidak membahas aqidah secara khusus. Poin penting dalam pembahasan
mengenai kepemimpinan adalah bahwa semua perselisihan akan dikembalikan
kepada Allah swt dan Muhammad saw.
Hijrah Nabi Muhammad saw tidak hanya mengajarkan kita bagaimana strategi
Nabi saw dalam mengamankan agama Islam dengan “lari” dari Mekkah dan
kafir Quraisy menuju Yatsrib yang telah didahului oleh ekspedisi
pengislaman oleh Mushab bin Umair, tetapi juga mengajarkan proses
transformasi dari konsep spiritual keagamaan menuju tataran praktis
kepemimpinan. Hijrah pada tataran ini menunjukkan bahwa transformasi
dari kebenaran aqidah harus berimplikasi pada tatanan masyarakat.
Hijrah juga memberikan keterangan yang jelas untuk membantah bahwa agama adalah masalah hubungan dengan Tuhan saja sedangkan masalah dunia adalah urusan tersendiri. Konsep sekularisasi terbantah jelas dengan peristiwa ini. Merubah nama Yatsrib menjadi Madinah juga membawa pesan daerah Islam. Kata “Madinah” menurut al-Attas adalah bentukan dari kata diin (Dal-Ya'-Nuun). Dengan demikian, wilayah kekuasaan tersebut berbasiskan diin (agama), jauh dari sekuler.
Hijrah juga memberikan keterangan yang jelas untuk membantah bahwa agama adalah masalah hubungan dengan Tuhan saja sedangkan masalah dunia adalah urusan tersendiri. Konsep sekularisasi terbantah jelas dengan peristiwa ini. Merubah nama Yatsrib menjadi Madinah juga membawa pesan daerah Islam. Kata “Madinah” menurut al-Attas adalah bentukan dari kata diin (Dal-Ya'-Nuun). Dengan demikian, wilayah kekuasaan tersebut berbasiskan diin (agama), jauh dari sekuler.
Ibnu Taimiyyah memberikan sebuah keterangan bahwa Islam ditegakkan
dengan dua hal, yakni Al-Quran dan pedang. Jika umat tidak bisa
diluruskan dengan ini (Al-Quran) maka diluruskan dengan ini (pedang).
Pedang bukanlah simbol dari peperangan melainkan kekuasaan negara.
Sebagian hukum syariat Islam membutuhkan kekusaan agar hukum tersebut
dapat terlaksana. Untuk mempertahankan Islam dan wilayahnya, Islam juga
membutuhkan seorang pemimpin negara. Oleh karena itulah Islam,
kepemimpinan, dan negara tidak dapat dipisahkan.
Para tokoh Islam seharusnya mempelajari fase sejarah ini. Mereka tidak
bisa hanya menjadi ustadz dan kyai yang ada di balik meja-meja mereka.
Mereka adalah pemimpin spiritual umat Islam yang mengajarkan aqidah yang
benar dan ibadah yang hanya kepada Allah saja. Sebagian lagi
mengajarkan amalan-amalan hati pada tarekat-tarekat mereka. Tidak boleh
pada pemimpin spiritual berhenti pada fase ini. Para pemimpin ini harus
melangkah pada tahapan berikutnya yakni membangun masyarakat. Tentunya
sembari tetap memperbaiki dan mentarbiyah masyarakat di bidang aqidah,
ibadah, dan akhlak. Para tokoh Islam harus membangun domisili
masing-masing, tidak hanya pada masalah spiritual tetapi juga pada
masalah kesejahteraan umum.
Rasulullah saw mengajarkan bahwa dalam butir perjanjiannya dengan umat
Islam, hak-hak ekonomi dan kemerdekaan masyarakat diakui, “Orang mukmin
tidak boleh meninggalkan seseorang yang menanggung beban hidup diantara
sesama mereka dan memberinya dengan cara yang ma’ruf dalam membayar
tebusan atau membebaskan tawanan”. Orang yang paling lemah juga diakui,
“Jaminan Allah adalah satu. Orang yang paling lemah diantara mereka pun
berhak mendapat perlindungan.”
Pemimpin Islam harus memimpin gerakan Islam yang aplikatif tidak sebatas
pada konsep-konsep teologis dan peribadatan. Islam harus bisa menjawab
tantangan kehidupan dengan memberikan kepada ulama-ulama mereka ruang
memimpin masyarakat, atau paling tidak orang-orang yang berkomitmen
kepada Islam bisa membimbing masyarakat kepada Islam yang menyeluruh dan
mencakup aspek kehidupan baik sosial, ekonomi, politik, budaya,
kemananan, dan lain-lain. Masjid-masjid adalah ruang diskusi kenegaraan,
mengatur urusan umat sebagimana Rasulullah saw menjadikan masjid
sebagai parlemen dan gedung pemerintahan. Rasul saw biasa syura dengan
para sahabatnya untuk menyelesaikan urusan keumatan kenegaraan di
masjid.
Ulama adalah pewaris nabi. Konsekuensinya adalah bahwa ulama harus
menjadi pemimpin gerakan Islam dalam rangka mewujudkan Islam yang
rahmatan lil alamin. Islam tidak berhenti pada amalan pribadi tetapi
menuju puncaknya sebagai rahmat alam. Ustadz Hasan Al-Banna sampai
menuliskan bahwa amal itu berujung pada Islam sebagai guru alam semesta
(Ustadziyyatul-'Alam), tidak lagi amalan pribadi. Ulama pemimpin
spiritual sekaligus pemimpin negara sebagaimana dicontohkan oleh Nabi
saw dan Khulafa' Rasyidiin.
Era kontemporer telah menunjukkan kinerja Islam yang demikian dengan
adanaya kelompok-kelompok dalam masyarakat Islam. Organisasi semacam
Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Muhammadiyah di Indonesia telah mencapai
level dimana Islam tidak lagi menjadi masalah ritual dan keyakinan, tapi
menjadi praktek tata hidup dan kenegaraan. Kita hanya tinggal menunggu
waktu di mana negara-negara di dunia mennganut tata aturan hukum Islam
dalam kehidupan masyarakat dan negara mereka, jika para ulama bergerak
bersama ke arah itu. Wa Allahu a’lam
*http://www.suara-islam.com/read/index/3890
0 komentar:
Posting Komentar