Dalam beberapa
kesempatan, saya begitu saja teringat dengan asupan-asupan spirit
tarbawi dan semangat qurani yang telah disuntikkan oleh guru Matematika
saya sewaktu di madrasah aliyah dulu. Seorang ibu guru akhwat yang
inspiratif, muda, enerjik, dan selalu penuh semangat.
Suntikan spirit dan
semangat yang pada perkembangannya menjadi titik tolak perubahan besar
pada diri saya. Bahwa betapa di sekolah itulah saya mulai mengenal arti
kesadaran berislam yang sesungguhnya. Bahwa sejatinya pengakuan sebagai
Muslim tidaklah sesederhana dan sekadar melakukan rutinitas ibadah
shalat, puasa, zakat, dan semacamnya. Cakupan Islam ini luas, ajaran
Islam itu menyeluruh. Maka, di samping bimbingan yang kami peroleh dari
para ustadz dan senior, di sekolah itu kami juga merasa tercerahkan oleh
petuah-petuah dan kisah-kisah dari guru Matematika kami tersebut.
Ibu Mutia Farina.
Demikian nama ibu guru Matematika kami nan inspiratif itu. Beberapa
menit sebelum pelajaran usai, beliau kerap bercerita tentang pergerakan,
tarbiyah, dakwah, Palestina, Syaikh Ahmad Yasin, Hasan Al-Banna, dan
sebagainya. Wacana-wacana semacam ini tentu saja masih baru dan asing
bagi saya serta bagi teman-teman yang saat itu belum begitu mengenal apa
itu tarbiyah. Namun, seiring perjalanan waktu, tanpa sadar hal tersebut
secara tidak langsung semakin mengokohkan tekad dan langkah saya
pribadi dalam menapaki jalan dakwah ini.
Dari titik inilah,
sejak saat itu saya mulai meninggalkan hobi saya menggandrungi
musik-musik pop dan Barat serta segala hal yang saya rasa sudah
bertentangan dengan pilihan yang saya ambil. Mulai saat itu pula saya
mulai membenahi diri dari hal sekecil-kecilnya dan bertekad menjadi
seorang Muslim yang sebenar-benarnya. Ya, saya ingin seperti
pahlawan-pahlawan yang diceritakan oleh Ibu Mutia di hadapan kami. Saya
ingin menyerap seutuhnya nilai-nilai keteladanan yang telah diwariskan
oleh Nabi dan para sahabat. Saya ingin… Ah, mungkin inilah secuil dari
manisnya nikmat iman dan Islam itu.
Kembali ke cerita
ibu guru Matematika saya tadi. Setiap kali masuk kelas dan memulai
pelajaran, ada satu jargon pembakar semangat yang selalu beliau
lantangkan di hadapan kami. Setiap kali beliau bertanya dengan gaya
khasnya, “Kaifa hâlukum?”, maka kami dengan semangat empat lima biasanya
secara serempak akan menjawab, “Alhamdulillâh… Luar Biasa… Allâhu
Akbar…!!” Tentu saja jawaban-jawaban semacam ini bukan hasil rangkaian
kata-kata kami sendiri, melainkan justru beliaulah yang “mendiktekan”
hingga kami hafal dengan sebegitu mantapnya.
Hasilnya justru
sangat luar biasa! Dengan pencerahan-pencerahan tarbawi yang beliau
selipkan sedemikian rupa, pelajaran Matematika yang ketika itu terkesan
“angker” bagi kebanyakan kami dan cenderung tidak kami sukai, seakan
dengan simsalabim tersulap menjadi mengasyikkan oleh kehadiran ibu guru
akhwat itu.
Sejak saat itu,
sebagian besar teman-teman saya yang sama sekali tidak tertarik dengan
segala tetek-bengek ilmu hitung-menghitung dengan serta merta jadi
“menyukai” pelajaran Matematika. Terang saja, bukan karena Matematikanya
tentunya. Tapi justru karena ibu guru akhwat yang membuat kami segan
itu, dan juga karena sederetan inspirasi, motivasi, dan refleksi yang
beliau ketengahkan tentang sahabat Nabi, tentang Palestina, Syaikh Ahmad
Yasin, dan sang pembaharu Hasan Al-Banna yang bagi kami jauh lebih
“menarik” ketimbang Matematika itu sendiri.
Maka jadilah jam
pelajaran Matematika yang diampu oleh Ibu Mutia itu sebuah liqa’ yang
mengasyikkan. Bahkan, pernah suatu ketika seorang teman saya
berkomentar, seandainya seluruh jam pelajaran Matematika ini diisi
dengan motivasi dan cerita-cerita inspiratif dari Ibu Mutia itu, tentu
akan lebih menarik lagi. Ada-ada saja.
Sampai sekarang pun
saya masih suka tertawa geli sendiri jika mengingat kenangan indah
tersebut. Kini, Ibu Mutia Farina sudah tidak lagi mengajar di sekolah
itu. Akan tetapi, spirit tarbawi dan semangat qurani yang beliau
tanamkan dalam jiwa-jiwa kami, akan selalu terkenang sampai kapanpun.
Terima kasih, Ibu Mutia.
Rabu, 13 November 2013
Guru Matematika Kami, Murabbiyah Kami
________________
Jemi Hendiko, Lc. | Mahasiswa International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur, Malaysia, Alumni SINAI
*sumber:http://www.sinaimesir.net/2013/05/guru-matematika-kami-murabbiyah-kami.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar